Minggu, 12 April 2009

Kamis, 09 April 2009

WAJAH YANG LAIN

WAJAH YANG LAIN

Ulfa, kamu harus menikah! Tak ada kata tapi-tapian!” tegas ibu.

Ibu memaksaku menikah dengan tetanggaku, Arif. Laki-laki yang tak pernah menyapaku meski sering berpapasan di jalan. Apalagi punya rasa untuknya. Ah..tak mungkin. Sedihnya, aku tak kuasa dengan apa yang sudah menjadi titah ibuku. Tak berdaya sama sekali untuk memberontaknya. Sebab sekali saja aku bilang tidak! apa yang menjadi keinginan ibuku, maka berakibat fatal. Yaitu penyakit jantung yang dideritanya akan kambuh. Aku tak mau itu terjadi.

Tanpa peduli tentang perasaanku, ibu menjelaskan panjang lebar tentang perjodohan ini. Dengan alasan takut dikatakan perawan tualah atau jadi gunjingan tetangga, punya anak gadis kok belum ada yang meliriknya.

Sedangkal itukah pola pikir ibuku?” lirihku dalam hati.

Kemaren ibunya Arif bilang, jika anaknya ada rasa terhadapmu” kata ibu.

Tanpa pikir panjang ibu langsung mengiyakan perihal omongan itu, dan kami berdua sepakat bahwa Desember bulan ini acara pernikahanmu akan dilangsungkan. Karena itu, ibu mohon kepadamu jangan kamu kecewakan ibumu, semua ini ibu lakukan tak lain demi kebahagiaanmu” lanjut beliau dengan nada mengiba.

Anakku, percayalah pada ibu. Ibu selalu memilihkan yang terbaik untukmu. Ibu tahu persis tentang Arif, sifat-sifatnya dan kedua orang tuanya. Sebab ibu bertetangga sebelum kamu lahir ke dunia ini” tambahnya untuk meyakinkanku.

***

Berhari-hari perasaanku terombang-ambing tak tentu arahnya. Perih pedih bercampur. Sungguh sangat menyakitkan. Dan akhirnya aku pasrah untuk menuruti apa yang menjadi kehendak ibu. Aku tak mau mengecewakannya. Apalagi jika mengingat tentang penyakit jantungnya. Sungguh tak berdaya jiwa ini. Meskipun untuk itu, aku harus mengorbankan jiwa dan perasaanku sendiri. Demi ibu.

Sesungguhnya perasaanku begitu pahit. Biar bagaimanapun keadaannya, ku pasrahkan semua pada ibu. Dalam hatiku berbagai kekawatiran-kekawatiran saling mengintai. Datang begitu saja dan tak ku tahu alasannya. Yang jelas, sekarang aku sudah mempunyai pautan hati. Apabila aku berada didekatnya, perasaanku begitu damai dan merasa terlindungi. Ya...kekasihku itu yang biasa aku panggil Papi. Sedangkan dia memanggilku dengan sebutan Mami. Begitu bahagianya jika ingat semua itu.

Namun, sekarang aku tak bisa berbuat apa-apa bila berhadapan dengan ibu yang telah melahirkanku dan merawatku. Seperti makan buah Simalakama. Entah mengapa, perasaanku tak tenang, teromabang-ambingkan entah kemana? Apakah mungkin aku telah begitu hanyut oleh pesona cinta yang telah dipersembahnkan Papiku? Yang begitu sabar dengan semua kelakuanku dan keegoisanku? Seringkali Papiku menyanjungku dengan puisi-puisi yang ia ciptakan khusus buatku. Pernah suatu ketika, aku meminta kepadanya agar setiap hari harus menciptakan satu puisi untukku. Tanpa komentar apa-apa, Papiku langsung menyanggupinya dengan senyum yang mengembang di bibirnya.

Aura pesona cinta yang dipunyai Papiku, sedemikian kuat hingga mengakar dalam otak, perasaan dan hatiku. Hingga merasuk ke tulang sumsumku. Aku heran, kenapa aku begitu terbius dengan Papiku? Apakah aku sudah gila dengan perasaanku?

***

Dengan hitungan jari, akad semakin dekat. Aku berusaha sekuat tenaga menumbuhkan benih-benih cinta pada calon suamiku, tetapi usahaku hasilnya nihil. Semakin aku berusaha maka batinku terus tersiksa. Berulang kali yang muncul selalu wajah Papiku yang seakan berada di depanku. Jelas. Padahal itu cuma halusinasi. Terkadang benih cinta yang aku harapkan itu malah berubah menjadi sebilah belati yang siap menghujam ulu hatiku. Aku menjalani hidup dengan penuh ketakutan dan kekhawatiran. Aku meratapi nasibku dalam derita yang tertahan. Aku ingin berontak pada ibuku. Tak mungkin jika mengingat tentang akibatnya. Yang hingga kini mampu membuat diriku bertahan dalam kesedihan, tak lain karena teringat dengan puisi dari Papiku yang dibacakan dengan penuh ketulusan saat aku bersamanya dulu.

tak pernah ku melupa

dari siapa aku belajar mengeja bahasa cinta

dari siapa aku merasakan permainan rasa dalam sua

dari siapa aku bertatap muka dengan bahagia

dari siapa aku bersisetia meyakini sabda-sabda

dari siapa aku bersahabat kemarau gelisah

dari siapa aku mengenal kesetiaan

kelelaan, pengorbanan, penghianatan

dan omong kosong bahasa perasaan

bumbu-bumbu racun cinta yang menggiurkan

minuman jiwa yang memabukkan

sungguh.....

takkan pernah ku melupa.

Masih terngiang dengan jelas di gendang telingaku suara Papiku, ekspresi wajahnya ketika membacakan puisi untukku dengan penuh penghayatan. Terasa nyata. Bagaimana ini Tuhan? Berilah jalan yang baik untuk hambamu yang berlumuran dosa ini. Haruskah aku menikah dengan keadaan yang tersiksa begini? Bagaimana aku bisa melakukan malam pertama dengan orang yang belum ada rasa cinta sedikit pun?

***

Akhirnya tiba juga hari yang disepakati dua keluarga itu, 25 Desember acara pernikahanku dengan Arif dilangsungkan. Aku duduk di pelaminan bagai mayat hidup. Hati hampa, sepi, sunyi, tanpa bahagia dan cinta. Apa mau dikata, cinta adalah anugerah Tuhan yang tak bisa dipaksakan dan dibeli dengan sejumlah uang. Sebab rasa adalah segalanya dalam hidup manusia. Kerumunan orang yang ikut merayakan pesta pernikahanku seakan tak ada. Aku terjaga. Namun pikiranku berlari entah kemana. Perasaanku dan nuraniku benar-benar mati, syaraf-syaraf yang menggerakkan seluruh organ tubuhku tak berfungsi sama sekali.

Ketika kulihat Papiku datang dengan membawa kado yang tak biasa, dengan ukuran yang sangat besar kira-kira tingginya 50 cm, sedang ukuran kelilingnya tak kurang dari 80 cm, dadaku sesak. Nafasku tak stabil keluar masuknya. Hampir saja air kesedihanku tumpah apabila tak mengingat perkataan Papiku.

Mi... Papi bersedia datang dalam acara pernikahan Mami. Tapi dengan satu syarat, jangan sampai Mami mengeluakan air kesedihan meskipun hanya setetes saja.”

Aku harus kuat menahannya. Aku tak mau mengecewakan Papiku meskipun hatinya perih. Tapi ia bersedia datang dalam acara pernikahanku. Kulihat suamiku duduk disampingku tersenyum bahagia. Tapi hatiku teriris-iris batinku meronta-ronta. Aku benar-benar merana.

Tujuh hari setelah acara pernikahan berlangsung. Layaknya pengantin baru, kupaksakan untuk melayani Arif sebisanya. Kupaksakan untuk mesra, bukan karena cinta. Sungguh bukan karena aku mencintainya. Saat suamiku melakukan tugasnya untuk memberikan nafkah batin, malah yang terlihat bukan wajah suamiku melainkan wajah yang lain yaitu Papiku. Ku paksa untuk menghilangkan wajah Papiku. Tak bisa malahan nampak semakin jelas. Aku pasrah tak berdaya dengan semua. Malam pertama dengan tubuh suamiku, namun bagiku malam pertama dengan Papiku. Sebab perasaan cinta serta yang nampak adalah wajah Papiku seorang.

Hatiku merintih menangisi kebohongan dan kepura-puraanku atas kemesraan di malam pertama dengan suamiku. Apakah aku telah menjadi orang munafik karena mendustai diri sendiri dan banyak orang? Apa aku salah jika ingin mencintai dan hidup bersama dengan orang yang aku cintai? Pertanyaan-pertanyaan itu semakin melilit-lihit leher kemanusiaanku? Aku pasrah tanpa daya.

Setelah tiga bulan pernikahanku, mulailah nyanyian hampa kehidupan mencekam. Aku tak menemukan gairah hari-hari indah pengantin baru. Tak pernah kurasakan! Yang aku rasakan adalah siksaan-siksaan atas kepura-puraanku menjadi istri yang patut dan nurut pada suami. Batinku terus menangis dan merintih-rintih kesakitan atas semua kebohongan yang aku ciptakan sendiri. Oh.. betapa susahnya hidup berkeluarga tanpa cinta. Sudah tiga bulan aku hidup bersama seorang suami. Makan, minum dan tidur seranjang bersama mahluk Tuhan yang bernama Arif, suamiku. Tapi benih cintaku belum juga tumbuh. Kemesraan dan rayuan suamiku tak mampu merobohkan dinding cinta dalam hatiku. Aku ingin merasakan bahagianya melayani seorang suami dengan penuh cinta. Cinta yang kudamba malah semakin berlari bukan mendekat. Pepatah Jawa kuno bilang witing tresno jalaran soko kulino. Artinya, hadirnya cinta sebab saling bersama. Tapi pepatah itu agaknya tak berlaku untukku. Aku tiap hari bersama Arif berada dalam satu rumah, makan satu meja, tidur satu kamar. Dan bahkan tidur pun satu selimut. Tapi mengapa cinta itu tak hadir-hadir juga? Kenapa? Justru yang hadir adalah rasa tersiksa dalam perasaanku sendiri. Mungkin jika aku tak mempunyai kesibukan sebagai pedagang sandal dan sepatu di pasar Kelet, pasti aku sudah gila pasca pernikahanku. Eh..bukan pernikahanku melainkan pernikahan ibu. Karena ia yang menghendaki aku jadi begini.

Bulan-bulan selanjutnya aku merasa hidup dalam duniaku sendiri. Jika di rumah, aku berusaha menjalani tugasku sebagai seorang istri. Pagi mempersiapkan sarapan untuk suami. Setelah itu masing-masing pergi kerja. Jika malam berselimut dingin, aku berusaha memberi kehangatan pada suamiku meski tanpa cinta. Kadang, jika aku merasa rindu yang melangit pada Papiku, dengan sembunyi-sembunyi ku kirim sms padanya. ”Pi.....G’ tau knapa mmi ingt ppi trus,G’ usah dblz nant kthuan cuami mmi”.

Pernah suatu malam ketika aku sedang tidur dalam keadaan antara sadar dan tidak, aku mengigau memanggil-manggil Papiku hingga suamiku yang tidur disampingku terbangun dan membangunkanku. Untung saja suamiku tidak mengetahui tentang apa yang sedang aku igaukan.

Biar bagaimana pun, Cinta adalah selera dan urusan hati, tak bisa dipaksakan maupun dibeli. Meskipun aku sudah bersuami, tapi cintaku, rasaku dan jiwaku hanya untuk Papiku seorang. Hingga kini aku mampu bertahan dengan kepura-puraan. Tak lain jika bertemu dengan suamiku, yang terbayang adalah wajah lain yaitu wajah Papiku. Dari itulah aku mampu sedikit meneguk kebahagiaan. Ibu... anakmu yang engkau ikrarkan dengan nama Ulfanidha, rela mengorbankan kebahagiaan hatinya. Karena bagiku cinta kasih yang ibu curahkan selama ini tak mampu aku bayar dengan segala cara. Semoga dengan pengorbananku yang saat ini anakmu jalani, hati ibu sedikit bahagia. Sungguh aku tak bisa berbohong, hingga sekarang pintu hatiku belum terbuka untuk menerima cinta dari yang lain. Dan aku tak mampu melupakan pesona cinta yang telah diberikan Papiku selama ini meskipun hanya sekedipan mata. Namun buatku pesona cinta Papiku sudah berkandang bertahun-tahun dalam bilik hatiku yang tedalam.

tuhan.....

dosakah hambamu ini dengan apa yang dijalani

dengan cinta yang menyiksa

tuhan....

tunjukkan pencerah-Mu

hanya pada-Mu aku bersimbah

tuhan....

hingga kapan hambamu ini

terus dalam kepura-puraan

bukakanlah pintu hatiku

untuk menerima anugerah-Mu

berupa keluarga yang mendapat ridlo-Mu

Hingga sampai kapan aku bisa melukapan Papiku, haruskah penderitaan atas nama cinta ini berkelanjutan? Dan sampai kapan pula aku harus menggunakan wajah yang lain didalam menjalani bahtera rumah tangga yang kata orang penuh dilema dan juga bahagia. Biarlah ini kujalani karena bahagia atau tidaknya yang mengerti hanyalah diriku sendiri. Cinta memang tak terperi dan tak dapat dibeli. Sebab kehidupan adalah misteri.


30 Desember 2008.

usahaku

selamat dalam alam yang tak biasa ini