Senin, 10 Agustus 2009

KENAPA HARUS DIA...??

KENAPA HARUS DIA……..?
Bertahun-tahun aku menunggu. Dengan penuh kesabaran, akan cinta yang mengharap suatu saat akan hadir dalam jiwa yang gersang. Bertahun-tahun pula aku tak merasa bosan untuk mendendangkan untaian cinta buat Ani. Dan berkali-kali pula aku menerima jawaban yang sama.
“Kita sahabatan saja”
Masih terngiang dengan jelas jawaban itu hingga kini. Tak ada yang di ubah, di tambahi apalagi. Seperti kopian kertas saja.
“ Mengapa dia nggak luluh dengan semua pengorbanan yang aku lakukan selama ini” keluhku pagi hari.
Bermacam cara sudah aku coba agar mendapatkan secercah cahaya cinta dari Ani. Tidak melupakan hari istimewa pada ultahnya. Berikan suprice diwaktu dia lagi gundah gulana Yang tak lain hanyalah pembuktian kalau aku setia akan cintaku. Tanpa lelah aku memberi perhatian kasih sayang terhadapnya. Selayaknya kasih sayang seorang ibu terhdap anaknya.
Cukup beralasan dia tak menerima cinta yang aku tawarkan. Bukan karena aku ini orangnya tak tampan, bukan pula kurang perhatian. Namun dia bilang kalau hatinya sudah ada yang mengisi. Dan sulit untuk berpindah kelain hati. Ketika dia bilang begitu aku tak dapat berucap apa-apa, bibirku kelu diwaktu akan mengucapkan sepatah kata. Seakan ada yang mengganjal dibibir ini. Sekedar membuka mulut beratnya bukan main.
“An, perasaaan mu masih sama seperti dulu terhdapku?”
“Iya ! Emang ada apa Gi…., kok pertanyaanmu seperti itu?”
“Nggak! Hanya Tanya apa tidak boleh?”
“Boleh lah”
“Dan orang yang mengisi hatimu itu tetap sama orangnya?”
“Iya, berat hati ini untuk melupakannya, apalagi meninggalkan”
Jawaban yang di berikan Ani. Seperti hujan batu, banjir bandang yang memporak porandakan rumah, dan tusukan beribu-ribu pisau di ulu hatinya Gilang. Ketika mendengar jawaban itu dia hanya bisa diam dan mencoba menutupi tentang rasa sakitnya. Mencoba menampakkan muka tersenyum seperti tidak terjadi apa-apa. Sedang Ani ketika berucap begitu tak memperdulikan perasaaannya Gilang seperti apa. Padahal Ani tahu kalau Gilang begitu cintanya dengan dirinya. Begitulah Ani yang jarang mau peduli dengan perasaan orang lain.Dan yang terpenting adalah perasaannya senang.
“ Kalau boleh tahu siapa yang memasung hatimu itu” Tanya Gilang sembari menata perasaanya supaya tak terlihat cemburu.
“Tak penting bagimu, kamu tahu pun siapa orangnya, perasaanku terhadapmu tetap sama tak mungkin berubah. Kita tetap akan menjadi sahabat untuk selamanya”jawab Ani dengan memandang wajah Gilang.
Begitu bahagiannya Gilang ketika mukanya saling bertatapan dengan Ani, yang berjarak hanya beberapa senti saja. Baru kali ini aku bisa menatap wajahnya yang begitu dekat. Ucapnya lirihnya dalam hati. Sebenarnya aku sedikit menyesal kenapa tidk dari dulu-dulu rasa cinta datang terhadap Ani. Padahal dulu kan tingggal dalam satu kelas yang setiap hari selalu bertemu. Tertawa gembira, kadaang pula mengerjkan soal yang berika guru pada jam kosong bersama dengan dirinya. Namun perasaan itu tak datang. Meski bersama perasaan dalam hati ya biasa-biasa saja. Benar apa kata orang kalau cinta itu datang tak terduga dan tak bisa di minta. Begitu pula ketika cinta pergi tanpa permisi terlebih dahulu.
Kalau mudah pergi dan pindah kelain hati. Tapi mengapa cintanya terhadap Ani tak kunjung berakhir. Padahal cewek-cewek yang lebih cantik serta lebih baik darinya banyak. Banyak cewek namun seakan tidak ada aura untuk di cintai. Begitu lah perasaannya Gilang saat ini. Masih bertahan dengan cintanya yang tak pasti. Apakah cintanya itu buta? pertanyaan yang kadang muncul disela keletihannya mengejar pujaan hatinya yang tak kunjung didapat.
Siapa ya kira-kira orang yang mampu memasung hatinya Ani hingga begitu? lamunya sebelum tidur. Aku harus mencari tahu dan mengasih ucapan selamat karena telah mendapatkan bidadari yang amat menawan dan jelita.
Berhari-hari aku mencari informasi tentang kegiatan yang dilakukan Ani dengan teman-temannya. Dengan siapa saja Ani bergaul aku telusuri tanpa mengenal kata putus asa. Semangatku mengebu-ngebu seperti semanggatnya para pejuang yang merebut kemerdekaan negri ini. Usahaku memberikan hasil yang maksimal. Namun hati ini sedikit lega karena sedikit mendapat informasi yang di cari-cari selam ini.
Disela-sela pencarianku pada sebuah tempat aku melihat Ani berdua dengan sahabatku sendiri yaitu Toni, dengan penuh keakraban. Toni bercengkrama dengan Ani. Namun aku tak menaruh curiga sedikit pun karena Ani dengan sahabatku itu adalah teman dari kecil yang rumahnya bertetangga. Jadi hal itu biasa terjadi. Tak perlu di permasalahkan. Aku pun mengabaikan dengan apa yang aku lihat.
Ketika aku menjauh dari apa yang kulihat tadi, dalam hatiku terasa ada yang menganjal. Perasaan kayak gimana gitu. Apa aku cem,buru? Dia kan sahabatku sendiri masak aku nggak percaya sama sahabatku sendiri. Toni tahu kalau aku cinta mati sama Ani. Ah tak mungkin kalau Toni menikam sahabatnya sendiri.
Tak pernah lelah Gilang memberi perhatian terhadap pujaan hatinya itu. Ketika hari ultahnya dia memberi kado yang spesial. Dan kado untuk pertama kali dalam hidupnya di berikan terhadap cewek. Soalnya dulu dia begitu dingin dengan namanya mahluk tuhan yang di beri title untuk mendampingi kaum cowok di dunia yang hanya sesaat ini. Tak lain adalah kaum cewek. Boleh di kata kalau Ani adalah cinta pertamanya. Apa yang dikatakatan orang yang jatuh cinta. Bahwa cinta pertama itu sulit untuk dilupakan. Sangat berkesan sekali. Apalagi kalau cintanya itu tidak bertepuk sebelah tangan. Betapa bahagianya orang yang disambut cinta pertamanya.
Lain orang lain cara bercintanya. Sebab manusia dilahirkan sudah di bekali dengan kelebihan dan kekurangan. Tak dapat disamakan. Begitu pula dengan urusan cinta. Orang lain boleh sakit hati dan patah hati jika cinta pertamanya bertepuk sebelah tangan. Namun bagi Gilang cintanya yang bertepuk sebelah tangan itu, karena kurang pengorbanan. Dan serius di dalam menawarkan cinta terhadap cewek yang di puja. Makannya Gilang tak pernah putus asa untuk mencintai Ani. Baginya Ani ibarat tembok besar Cina. Sedangkan dirinya di ibaratkan sebuah lumpur, berkali-kali Lumpur itu dilempar ketembok meski tak jebol maka tetap akan membekas. Begitu pula dengan cintaku terhadap Ani selayaknya tembok tadi meski tak di sambut pasti akan membekas dalam hatinya. Hidup adalah perjuangan, begitu pula dengan cinta harus di perjuangankan.
“Makasih ya Gi.. atas ucapan ultahnya dan kadonya”
“Sama-sama”
Ya setiap malam minggu Gilang selalu berkunjung kerumanya Ani. Untuk melepas kerinduan yang amat. Tak mendapat cintanya namun masih dapat bertemu dan berbicara. Itu sudah membuat hatiknya sangat gembira.
“Sudah punya rencana paska kelulusan nanti” tanyaku
“ Belum sih, masih bingung untuk menentukan pilihan”
“ Coba kamu kasih saran Gi.. Dari kemaren kalau di tanya mau melanjutkan kemana jawabanya ya itu—itu saja masih bingung” sahut ibunya sambil membawa nampan yang berisi dua gelas teh manis.
Ketika mendengar perkataan ibunya. Ani menjadi malu wajahnya kelihatan memerah. Sambil menyunggingkan senyum dibibir manisnya. Dan sesekali aku melirik wajanya Ani, ah indahnya wajah itu, hatiku terasa sejuk sekali disaat melihat pancaran yang bersinar dari wajahnya. Andai saja satu hari matahari enggan untuk memancarkan sinarnya cukup melihat wajah Ani sudah mengobati kegelapan hari ini.
“Kok repot-repot segala sih Bu, kayak tamu agung saja” basa-basi Gilang
“Nggak apa-apa, cuman air saja”
“Silakan diminum, ibu kebelakang dulu”
“Makasih ya Bu”
Tak heran jika Ani punya wajah yang cantik. Sebab ibunya sendiri masih cantik padahal jika dilihat dari umurnya sudah menginjak kepala dua. Aura kecantikannya masih kelihatan. Ada pepatah bilang, kalau buah jatuh tak akan jauh dari pohonnya. Begitru pula dengan anak yang lahir tak akan beda jauh dengan ibunya. Ada sedikit kemiripan lah meski tak keseluruhan.
“Cantik juga ibumu”
“Anaknya juga cantik kan?” jawab Ani dengan suara khasnya yang serak-serak basah.
“ Ya anak sama ibunya sama-sama cantik, tapi cantikan kamu” rayuku
Hampir satu jam lebih aku berada dirumahnya Ani. Jarum jam sudah menunjukkan jam sembilan malam. Menurut peraturan yang berlaku di kalangan masyarakat. Apabila sudah jam segitu maka setiap orang yang berkunjung kerumahnya cewek atau orang lain yang bukan keluarga. Harus undur diri demi kemaslakatan bersama. Meskipun peraturan tersebut tidak di tempelkan di pos-pos ronda tapi kebanyakan orang khususnya anak muda sudah paham akan peraturan itu.
“Sudah malam aku pamit dulu , makasih atas waktunya dan salam buat ibu, tehnya enak dan manis.”
“Nggak perlu terima kasih biasa lagi, pintu ini terbuka untukmu kapan saja kamu datang aku akan setia membukannya, kita kan sahabat karib”.
Ani mengantarkan Gilang hingga teras depan. Malah menunggu gilang hingga lenyap dari pandangannya. Ani memang begitu menghormati tamu. Semua tamu yang berkunjung kerumahnya pasti ketika pulang akan diatar keteras depan hingga tamu tersebut lenyap dari halamn rumahnya yang tak begitu lebar, karena sudah sesak di tanami bunga-bunga yang beraneka ragam dan corak. Yang wanginya sangat membekas buat orang yang pernah berkunjung kerumahnya.
Senin pagi langit begitu cerah,. Burung-burung berkicau dengan merdu dan bersaut-sautan dengan yang lain. Penuh kedamain. Meski hari begitu cerah dan penuh kebahagiaan semuanya seakan tak ada artinya ketika Gilang mendengar kabar dari salah satu sahabatnya yang ruhnya tak begitu jauh dari rumahnya cinta pertamanya. Jawaban yang selama ini dia cari-cari tanpa di cari malah datang sendiri. Ya jawaban siapa orang yang telah memasung hatinya Ani. Hingga tawaran cintanya selalu terabaikan. Aku sempat tak mempercayai dengan apa yang baru aku dengar dari Roni sahabatku. Bahwa sudah bertahun tahun Ani dengan Toni menjalin cinta kasih, sering pergi bersama. Malahan ada angin lewat dari masyarakat kalau Ani itu sudah bertunangan dengan Toni. Betapa hancurnya hati ini, darah yang semula mengalir normal ditubuh ini. Berhenti aliranya menjadi deras tak karuan. Jantung yang detaknya berjalan sesuai tugasnya rasanya berhenti. Gilang merasakan kalau tubuhnya sudah tidak ada hawa kehidupan lagi. Mati lebih baik dari menanggung derita hati yang berkepanjangan.
Cintanya terhadap Ani berubah menjadi benci. Apalagi dengan sahabatnya Toni, mungkin jika pada saat mendengar kenyataan itu Toni berada di hadapannya maka tak tahu apa yang terjadi. Paling-paling pertengkaran yang terjadi tak dapat terelakkan. Kenapa harus Toni, bukan yang lain. Padahal cowok didunia ini tidak hanya satu melainkan beribu-ribu. Kenapa harus dia An………. Kenapa….. dan kenapa……?Gilang berbicara sendiri meluapkan kemarahanya dengan apa saja yang ada di dekatnya. Buku yang tadinya berbaris rapi dimeja belajar. Kini berubah sembilan puluh drajat semuanya berserakan dilantai. Tak beraturan kayak kapal pecah.
Setelah kejadian itu Gilang enggan sekali untuk melalukan aktifitasnya. Wajahnya sayu, layu tak mempunyai hawa kehidupan. Dan lebih suka mengurung diri dikamar dari pada bercengkrama dengan orang lain.
Kabar tentang keadaaan Gilang terdengar sampai ketelinga sahabatnya. Ani dan Toni. Dan keduannya pun tahu kalau penyebab semua permasalahan adalah mereka.
“Seharusnya sejak dulu kita berkata sebenarnya terhadap Gilang” ucap Ani kepada Toni.
“Bukanya kamu sendiri yang ngelarang aku berkata jujur sama dia, ya begini jadinya”
“Dulu aku melarang tentang hubungan kita, bukannya ingin menutup-nutupi tapi aku menjaga persahabatan agar tak bercerai berai” ucap Ani dengan suara yang penuh keyakianan.
“Kalau sudah terjadi begini apa yang kita lakukan? Tentang kelangsungan persahabatan apa? Dan siapa yang bertangung jawab?”Toni berkata seakan dia tidak ikut bersalah dalam permasalahn ini.
“ Kok kamu bilang begitu sih Ton..! yang bertangggung jawab ya kita berdua karena kita berdualah yang menjalani dan menyebabkan Gilang sahabat kita jadi kayak gitu”.timpal Ani yang juga tak mau kalah.
“ Andai saja dulu kamu mau menuruti kata-kata ku, tak mungkin terjadi kayak gini, trus langkah seterusnya bagaimana?”
“ kamu jangan Tanya aku dong kita cari jalan keluar masing-masing”.
Akhirnya mereka berdua diam. Sibuk dengan pikirannya masing-masing. Mereka berfikir agar persahabatnya tidak menimbulkan permasalahan dan juga masih berlanjut seperti belum terjadi apa-apa. Tapi semua itu sulit terjadi. Mereka tahu jika Gilang sudah dihianati sulitnya bukan main untuk mengajaknya berdamai. Apalagi masalah ini tentang soal cinta dan perasaan. Bagaimana jadinya kelangsungan persahabatan yang telah terbina sejak kecil. Dan juga sudah seperti keluarga kedua antara mereka bertiga.
Gilang lebih suka orang yang berkata apa adanya dari pada menutup-nutupi dan menimbulkan gejolak dikemudian hari. Lama mereka sibuk dengan pikiran masing-masing, akhirnya Toni angakat bicara.
“Aku punya ide An!”
“Apa itu Ton?” sahut Ani dengan penuh penasaran sambil membetulkan tempat duduknya.
“Gimana kalau kita berkunjung kerumahnya dan menceritakan apa adanya, apa kamu setuju dengan apa yang aku usulkan?”
“ Kalau aku sih setuju aja tapi apa nanti dirumahnya tidak menimbulkan permasalahan yang baru”
“Urusan itu kita lihat di sana saja, aku percaya bahwa Gilang itu orangnya lebih dewasa dalam memandang permasaalahan dari pada kita”.
“Jika begitu besok kita pergi kerumahnya”
Hari yang dijanjikan datang juga. Mereka berdua datang kerumanya Gilang. Tapi terlebih dahulu mereka menata hatinya mesing-masing. Diruamhnya diluar dugaan Gilang menyambutnya dengan penuh gembira. Seakan tidak terjadi apa-apa. Ketika Toni memulai pembicaraannya menceritakan tentang semuanya. Gilang malah menanggapi dengan penuh senyuman.
“Tak perlu kamu ceritakan aku sudah tahu semuanya, tapi aku sangat sakit hati mengapa kalian tidak berterus terang dari dulu-dulu? Kenapa…..?”
Ketika mendengar pertanyaan dari Gilang mereka berdua tak mampu untuk menjawabnya. Mereka hanya diam dan saling berpandangan. Tanpa suara sedikit pun.
“Kalian tak perlu menjawab pertanyaan ku tapi aku ingatkan. Bahwa sebuah kepaercayaan itu mahal harganya. Tak dapat ukur dari uang”.
“Gi…. Maafkan kesalahan kami berdua”
“Kalian tak perlu minta maaf tak ada yang salah kok!”
Kunjungannya Ani dan Toni tak membuahkan hasil. Gilang masih saja sibuk dengan urusannya sendiri yaitu jarang bergaul dengan orang lain. Lebih bergembira berhari-hari berdiam diri di dalam kamar. Sampai sekarang pertanyaan yang masing bergelantung dalam benaknya mengapa harus dia……. Mengapa….. bukan yang lain.
Sabtu 160208
Ni'am At-Majha
Menjelang tengah hari

ULFAKU..........!!!???

Ulfa…….
Aku tersiksa akanmu
Aku merana akan cintamu
Dirimu buatku tak bedaya
Ulfa…..
Aku cinta denganmu
Namun aku meregang kesakitan
Sebab cintaku
Hanya membuatmu
Menahan nestapa
Menahan derita
Ulfa….
Entah sampai kapan
Aku mampu bertahan dan menahan
Semua rasa, sua yang hadir dalam dada
Karena cintaku tumbuh
Tak lain sebab adamu
Ulfa…..
Kita berbeda
Aku selalu hidaup dalam tarian jiwa
Tapi cinta adalah soal hati
Dan tidak bisa di paksa atau pu memaksa
Ulfa….
Maaf jika cintaku
Membuatmu terluka
Maaf dengan semua lakuku.
200408
PERNAH....??
aku tak pernah segila ini
dan juaga tak sesakau ini
tapi inilah yang harus aku jalani
berbicara tentang kepedihan...
berlukiskan rasa perih yang melilit-lilih
pernahkah....
ini dialami selainku...?