Kamis, 22 Oktober 2009

PELAMINAN SUMUR SINABA

PELAMINAN SUMUR SINABA
Dunia serasa milik berdua. Kebahagiaan dua insane yang lagi dimabuk cinta. Matahari yang meradiasikan sinarnya keseluruh sudut kota Pati Ni’am dan Muna tidak menghetikan kemesraannya.
Duduk berdua di bawah pohon beringin di Alun-alun sambil menikmati Supe (Susu Tape) kesukaannya Ni’am. Telah dari kemarin liburan pondok berjalan dan baru sempat hari Minggu ini Ni’am berkunjung kerumah kekasihya yang berada didesa Plukaran. Lumayan jauh dari tempat tinggal kekasihnya yaitu perbatasan dengan kota Jepara.
Mungkin selama mereka memadu kasih baru kali pertama ini, bisa keluar berduaan. Itu pun jika bukan atas desakan dari Mbakyunya Muna mungkin kejadian ini tak akan pernah terjadi.
“Kak..besok jadi kembali kepondok?tanya Muna.
“Iya, kan hari Rabu Pak Yai sudah mulai ngajinya. Kakak tidak mungkin meninggalkan ngajinya karena sebentar lagi kakak dah hatam. Tidak apa-apa kan?”
Ni’am menatap lekat-lekat mata Muna, dan kekasihnya pun mengangguk kecil. Mereka berdua Melanjutkan meneguk es Supenya, yang segarnya sampai kehati.
ఇఇ
Besok paginya, sengaja aku berangkat kepondok pagi-pagi. menerobos dinginnya bulan Desember. Sebab perjalananku menuju pondok Pesantren Roudloh dimana aku dengan kekasihku menghafalkan Alquran. Pada sebuah desa yang terletak tidak jauh dari Lereng Muria. Didesa Piji, aku bisa mempelajari tentang berbagai hal, entah itu belajar bagaimana berlaku Qona’ah bukan sebab apa, karena di pesantren Tahafudz ini mayoritas santrinya masak sendiri, dan untuk dizaman serba instan sekarang suatu yang amat langka jika masih ada pesantren yang makannya memasak sendiri.
Selama hampir tiga tahun lebih aku nyantri dikota santri kata lain dari desa Kajen. Tidak pernah sedikit pun memasak untuk memenuhi kebutuhan setiap harinya. Makan tinggal makan, satu bulannya berapa terima bersihnya saja. Akan tetapi disini, aku tahu tentang semuanya, bahwa hidup tidak selalu enak, kadang juga harus merasakan bagaimana getir pahitnya hidup yang sesungguhnya. Ya...di pesantren ini aku tahu tentang hal itu, hingga aku dipertemukan dengan perempuan sederhana, dengan perempuan yang selalu nerima ing pandum dari pencipta, perempuan yang tidak pernah menuntut apa-apa, perempuan yang selalu berpenampilan apa adannya, perempuan yang masih suci, baik perkataanya, baik tingkah polahnya, perempuan yang selalu menghargai orang lain, perempuan yang membuatku belajar sabar untuk mendapat perhatiannya, perempuan yang bisa membutku sadar jika hidup itu tidak mudah, perempuan yang kelak bersamaku untuk menyempurnakan agama dalam satu mahligai rumah tangga.
Pertemuan yang tidak terencana, semuanya telah diatur oleh sang Pencipta dan aku pun tahu namanya dari sebuah pena yang bertuliskan abjad panggilannya. Entah kapan tepatnya, hingga benih-benih cinta yang berada dalam dada ini tumbuh. Padalahal aku sadar jika hafalan alqurannya lebih jauh ketimbang aku. Biar bagaimana pun cinta adalah urusan hati, jadi tidak bisa diperdebatkan apalagi dicari devinisinya.
Ketika sang mentari telah meninggi dan manandakan jika waktu dhuhur sebentar lagi aka datang. Aku baru saja sampai dipesantren, lumayan melelahkan perjalanan dari rumah hingga sampai di disini. Hampir empat jam lebih jika alat trasportasinya menggunakan bus lain lagi jika menggunakan kendaraan pribadi paling cuma menghabiskan waktu dua jam saja.
Baru sampai didalam kamar, belum sempat istirahat dari bawah terdengar suara montor berhenti, aku pun langsung turun dari lantai dua yang terlebih dahulu aku lihat dari teras depan kamarku siapa yang datang, teryata tukang pos. Aku tidak menyangka jika paketan itu tertuju terhadapku, aku baru menyadarinya ketika aplop warna cokelat itu aku balik mencari tahu untuk siapa? aplop coklat itu bertuliskan”Untuk Khoirun Ni’am” siapa ya yang mengirimnya, perasaan aku tidak pernah pesen buku atau pun mengirimkan resensi pada sebuah media. Rasa penasaranku pun menuntunku untuk segera membukanya. Saraf otakku terasa berhenti, diam. Termangu. Sebuah buku berjudul LOVING U, MERIT YUK! seakan tersenyum manis terhadapku. Tapi aku tidak bisa membalas senyumnya. Sungguh lidahku kelu. Apa maksudnya?ku bolak-balik buku itu, tapi tetap tidak menemukan siapa pengirimnya. Duh..kenapa hatiku tiba-tiba hambar begini dan dingin tidak karuan.
Kutaruh buku di almari, rasa capek yang menjalar di tubuhku tidak dapat lagi untuk diajak kompromi.
“Ah…nanti saja bacanya jika lelahku sudah rada mendingan”gumamku.
Sauara bising santri lain yang lagi berebut jajan yang aku bawa dari rumah, telah mengganggu ketenangan istirahatku. Akan tetapi bagaimana lagi yang namanya pesantren pastinya rame. Karena dari pesantren banyak hal yang dipelajari, biar bagaimana pun pesantren adalah lingkup terkecil masyarakat. Miniatur kehidupan masyarakat, sebab di pesantren semua yang nantinya ada dalam masyarakat paska boyongan telah ada, mulai dari santri yang bandel, santri yang rajin, bahkan santi yang badung sekali pun ada. Dari merekalah aku belajar tentang kehidupan.
ఇఇ
Bintang gemintang berbaris di awan. Bulan sabit terpancar merah kekuningan menambah damainya malam yang dingin di pesantren Roudloh. Jam wajib muroja’ah hapalan Alquran telah sendari tadi selesai. Dan aku pun sudah menyiapkan hapalan yang akan disetorkan besok pagi setelah andzan subuh berkumandang. Sekarang tinggal memanjakan badan untuk istirahat.
Piji, 23.30 am…
Ku tatap lekat-lekat, kembali, buku merah muda yang tadi siang ku taruh begitu saja didalam almari. Ada kekuatan apa dalam buku ini, mungkin memiliki kekuatan magis! Astaghfirullahhal’adzim…hatiku benar-benar jadi kacau. Sungguh ada rasa nyeri di ulu hatiku. Tidak seperti biasanya jika aku memandang sebuah buku hingga seperti ini.
Aku harus bagaimana? Buku ini, entah siapa yang menghadiahkannya untukku, telah selesai kubaca. Aku benar-benar tidak tahu, apakah ini teguran dari Allah, atau hanya intermezzo dunia yang numpang lewat? ku ambil handphone ku. Tidak peduli sudah jam berapa sekarang, aku harus menelponnya. Kucari nama Jauzatianni di phonebook, lalu kutekan OK. Tidak beberapa lama..
“Assaamualaikumm, dek. Maaf ganggu tidur adik?”
“Waalaikumsalam, kak, ada apa kok tidak seperti biasanya?”jawabnya diseberang sana dengan suara lirih sebab bangun dari tidur.
“Boleh bicara bentar” aku sendiri kaget kenapa kelakuanku begini, kenapa tidak bisa menunggu sampai besok hari. Padahal ini tengah malam.
“Ada apa kak? Sampai malam-malam telpon?ada yang penting?suara Muna.
“Emm…kakak sudah mikir lebih 1 jam yang lalu”.
“Tentang apa kak?”tanyanya dengan nada yang manja. Ya. Munawwaroh adalah perempuan bisa menyejukkan jiwa untuk kekasihnya.
“Ya tentang hubungan kita, seperti yang kakak bilang dulu jika hapalan kakak sudah selesai, maka keluarga kakak akan bersilaturrohmi kerumah adik, bagaimana dik..?”
Mungkin kurang sopan jika membicarakan tentang masalah sepenting ini tengah malam.
Aku tahu jika Muna begitu tersentak kaget dengan apa yang ku bicarakan barusan. Hening tanpa ada suara.
“Kok diam dik.. bagaimana tentang pembicaraan kakak tadi?”
“Nggg…adik hanya kaget saja kak, adik sih siap apa yang menjadi keputasan kakak, karena adik percaya keputusan kakak yang terbaik untuk kita berdua”.
“Alhamdulilah jika begitu, dik kakak minta keihklasannya bila nanti ketika adik jadi istri kakak ada hal yang kurang sempurna didalam mengayomi adik, entah itu dalam hal batiniah atau pun dhohiriayah, mau kan dik…??ikhlas kan?”
“Ya..kak.., adik bahagia jika selalu bersama kakak, adik juga minta keihklasanya kakak jika nanti adik menjadi seorang istri ada hal atau pun kesalahan yang dirasa kurang berkenan dalam hati kakak, insyaallah adik akan menjadi istri yang diridloi Allah dan mau dipimpin oleh seorang suami”jelasnya.
“Makasih ya dik…nanti jika adik jadi istri kakak, mau kan kakak ajak hidup prihatin?”
“ Ya.kak, adik akan siap hidup dengan kakak apa adanya dalam keadaan susah atau pun senang, kakak bahagia adik juga bahagia, susah senang kita jalani bersama”.
“Dik…sekarang adik wudlu sholat malam berdoa kepada Allah semoga apa yang kita bicarakan ini mendapat ridlo dari-Nya”
“Kakak juga sholat dan berdoa kepada-Nya jika semua keputasan yang kita ambil ini adalah yang terbaik untuk kita jalani bersama”timpalnya dengan suara parau, bahagia yang tidak terkira.
“Injih adikku sayang…kakak akan selalu berdoa untuk keluarga kita dan kebahagiaan kita didunia atau pun akhirat semoga dijauhkan dari api neraka”.
“Amii…..in”.
“Assalamuaikum dik”
“Waailkumsalam kakaku sayang”
Klik.
Aku duduk terpaku. Berfikir tentang apa yang sudah aku bicarakan barusan. Padahal aku belum belum membicarakan masalah ini dengan ibuku. Apa nantinya tidak kaget jika mendengar kabar ini mendadak. Ah…aku tahu jika ibu merindloi apa yang di inginkan anak laki-laki satu-satunya, asal kan keinginan itu positif pasti ibuku mendukungnya. Lalu yang jadi keganjalan dalam hatiku sekarang ini adalah tentang hitung-hitungan tanggal lahir (weton), orang Jawa jika mau melaksanakan upara sakral seperti perkawinan harus mengitung dulu, jika hitungannya tidak cocok maka pernikahan tidak bisa diberlangsungkan meskipun keduanya saling mencintai. Apa bila masih nekat maka ada cobaan silih berganti. Aku sendiri kurang sepakat dengan hal itu, sebab dalam Islam belum menemukan landasan yang diharuskan menghitung jika mau menikah. Itu Cuma keyakinan belaka. Apabila tidak diyakini maka ya tidak terjadi. Berubung hidup di Jawa mau tidak mau harus mengikuti tradisi ini.
Plukaran, 02.30 am
Muna belum bisa memejamkan matanya. Berpikir perihal apa yang barusan dibicarakan dengan kakaknya. Yaitu ingin melanjutkan jalinan cinta kasih untuk menuju kekhalalan. Di putuskan untuk meminta pendapat Sang Maha Bijaksana. Memanjangkan sujudnya dengan sejuta doa dan hara, meminta hatinya dimantapkan untuk sebuah-yang diyakininya- kebenaran.
Ya Allah, yang maha bijaksana, yang mempunyai segala cinta terhadap mahluknya. Kini dengan berlinangan air mata hambamu memohon semoga apa yang jadi keputasan hambamu barusan adalah kehendak-Mu.
Ya..Allah ya Tuhan segala Tuhan, berikanlah rahmatmu untuk hambamu ini dan keluarga hamba, dan juga berikanlah ketabahan buat hamba dan kekasih hamba didalam menjalani segala cobaan yang Engkau beri, hanya terhadapamulah Hamba memohon segala permintaan.
Suara ayam berkokok menunjukan jika sekarang telah lebih setengah dari malam dan fajar Shodiq sebentar lagi mencuat. Sambil menunggu adzan subuh berkumandang Muna muroja’ah hapalan Alqurannya. Tidak disadarinya air matanya menetes mungkin ini air mata bahagia, sebab ia akan hidup bersama dengan orang yang dicintainya untuk waktu yang tidak sebentar melainkan seumur hidup hingga tua renta.
Piji, 03.00 am
Malam ini terasa amat lama. Dari malam-malam sebelumnya. Aku sendiri kurang tahu penyebabnya apa, atau mungkin perasaanku saja. Atau kurang bersukurnya aku. Permasalahan yang barusan aku bicarakan dengan kekasihku ternyata belum selesai disini. Padahal anggapanku jika sudah berbicara dengannya maka sudah pasti Muna akan pasti jadi istriku. Lagi-lagi orang tua yang memegang tradisi Jawa tentang tanggal lahir. Nanti jika dihitung tidak cocok maka aku harus merelakan adikku, bisa tidak bisa harus berusaha melupakan meskipun dalam relung hati rasa perih melilit-lirih. Sungguh aku tidak mau itu terjadi, aku tidak mau cinta suciku terberanggus oleh tradisi Jawa yang kata orang tidak bisa disiasati. Tapi buatku semua pasti ada jalan apabila mau berusaha, Allah maha penyayang buat hambanya.
Ku putuskan untuk kekamar mandi untuk mengambil air wudlu. Dan meminta secerah cahaya dari Sang Pecipta yang mempunyai segala cinta. Bersimpuhkan air mata dihadapan-Nya jika manusia tidak punya daya apa-apa apabila telah berhadapan dengan Allah.
Ya Allah…yang maha bijaksana, ya Allah yang maha mengetahui, yang maha adil, yang penyayang. Sungguh, sebenarnya aku malu menghadap-Mu, setelah selama ini, Engkau hanya tersimpan dalam memori otakku, tapi belum sempurna tunaikan perintah-Mu.
Kini, aku benar-benar galau. Apa yang harus aku lakukan?dengan keputasan yang barusan aku ambil. Jika sudah terjadi baru aku menyadarinya, aku binggung. Aku sadar jika aku belum berpenghasilan untuk membiyai istriku. Meski aku percaya bahwa setiap keinginan pasti ada jalan, asalkan mau ikhtiar dan tawakal. Hanya pada-Mu aku pasrahkan semuanya.
Tapi..jika aku tidak mengambil keputasan ini, aku takut menyesal suatu saat nanti bila ia telah diambil yang lain. Dan aku juga takut tidak bisa membahagiakannya dan tidak bisa menjadi suritauladan untuknya dan anak-anakku yang terlahir dari rahimnya.
Aku mengusap perih hatinya dan bermetaforsis menjadi butiran bening yang menetes dipipi.
Ya…Allah mantapkan hatiku ini jika semua keputusan yang aku ambil adalah yang terbaik untukku dan dirinya.
Tedengar suara sayup-sayup alunan ayat-ayat suci dari surau-surau dan masjid, sebagai tanda jika sebentar lagi adzan subuh berkumandang dan fajar shodiq telah berlalu.
Satu pekan telah berlalu aku dipesantren Roudloh. Rutinitas yang aku jalani tetap sama mengaji, dan setoran hafalan setelah sholat subuh. Nderes ayat-ayat alquran yang sudah disetorkan dengan Pak Yai agar tetap ingat tidak lupa. Perasaan tidak nayaman selalu menggagu memori otakku. Perasaan gelisah selalu menganggu pikirannku, sungguh menguras tenaga. Ya..permasalahanku sendiri tentang hubunganku dengan Munawwaroh yang nantinya akan jadi pendamping hidupku. Karena selama ini ibuku belum mengetahui perihal masalah ini. Tapi secepatnya aku harus menceritakan semuanya, dan juga keputusan yang barusan aku ambil. Meski belum satu bulan tidak apa, aku harus pulang kerumah untuk membicarakan masalah ini. Kamis depan aku harus pulang dan minta orang tuaku untuk Ndodok pintu di rumahnya Munawwaroh perempuan hafidhoh. Di desa Plukaran Kecamatan Gembong yang satu Kabupaten denganku Pati.
ఇఇ
Hangatnya waktu dhuha, mengantarkanku sampai di tempat kelahiranku. Mojo Jatenan. Suatu hal yang jarang ketika aku berada dipesantren belum genap satu bulan sudah pulang. Kecuali ada keperluan yang teramat penting. Dan ini termasuk keperluan yang penting dan tidak bisa aku wakilkan atau pun dibicarakan lewat telpon. Ibu ku tidak menanyai hal-hal apa-apa kenapa aku pulang, paling anggapannya uang sakunya habis. Ibuku memang selalu memanjakanku, terutama masalah kesehatan selalu dipertanyakannya, jika telpon ketika aku lama berada di pesantren pasti yang ditanya terlebih dahulu, jangan lupa minum susu, jangan minum air sebarangan apalagi sampai minum air tidak dimasak terlebih dahulu, jangan telat makan, kesehatan selalu dijaga. Apabila orang lain memandang sekilas jika aku ini masih anak kecil padahal sudah mau melepas masa lajang. Ya begitu ibuku yang selalu menyanyangi anak laki-laki satu-satunya. Yang sampai sebesar ini masih memperlakukan aku seperti anak kemarin sore.
Mojo Jatenan, 19.00 am
“Tidak bisa”ibu berteriak didepanku, aku tahu akan terjadi seperti ini.
“Kamu itu belum selasai hafalanmu dan belum punya perkerjaan tetap mau kamu beri makan apa nanti istrimu, ….Oalah…Am…Am… kamu mau mengecewakkan ibumu…???”
Bapakku hanya terpaku diam melihat pembicaraan dengan ibuku. Bapak tidak komentar apa-apa tengtang masalah ini.
“Kulo akan tetap mengatamkan hafalan alquraanya hingga lancar..”kataku dengan nada yang mengiba.
“Ndak mungkin mondok sudah nikah ! apa kata orang ??”timpal ibu
“Sebelumnya dengarkan penjelasanku dulu bu…Kulo tidak menikahi Muna langsung melainkan tunangan terlebih dahulu, itu pun acara pertunangannya terjadi setelah kulo hatam Alqurannya, nanti Muna akan kulo suruh menunggu satu atau dua tahun baru menikah, karena menikah butuh modal jadi kulo mencari maisyah terlebih dahulu..”jelasku dengan santun.
“O..oo beitu to, tapi ada syaratnya jika mau restu dari ibu, ibu ndak mau kamu salah pilih istri yang kamu ajak seumur hidupmu”.
“Syaratnya apa bu…?”
“Siapa tadi..”
“Munawwaroh bu..”
“Muna harus mau kamu ajak kesisini sebab rumah yang kamu tempati ini adalah milikmu karena almarhum bapakmu dulu membuat rumah ini buatmu, ia juga harus bisa diajak seduluran, pinter dengan keluarga dan yang terpenting adalah menghormati orang tua, jangan pelit kayak istrinya Paklekmu itu. Terakhir sederajat dengan kita, kita ini kan keluarga sederhana, keluarga petani jadi jangan cari istri orang gedongan. Ibu menyuruh kamu disini karena mushola disamping rumah ini siapa yang menjaganya jika kamu pergi dari rumah ini”jelas ibu panjang lebar.
“Isyaallah keteria yang ibu sebutkan tadi terdapat didalam kepribadianya dik Muna bu, ia hafidhoh terlahir dari keluarga yang sederajat dengan kita, ia juga Insyaallah bisa menerima keluarga kita apa adanya, dan kulo menjamin ia birulwalidain”tambahku.
“Kok ngerti sampai begitu..?kapan kamu kenalnya?”tanya ibuku
“Ya selama kulo mondok dipesantren Roudloh sebab ia satu pondok dengan ku, bersediakan bapak kalih ibu menunangkanku dengannya”
Sepeninggal bapak kandungku, ibu menikah lagi dengan seorang laki-laki pilihannya. Dan yang sekarang menjadi bapak tiriku.
“Dituruti saja bu..”tambah bapakku.
“Tapi pak…!!”
“Bu..”
“Ya ibu akan mengabulkan permintaanmu, sebab dulu ibu berjanji jika kamu hafidz alquraan maka setiap keinginnanmu ibu kabulkan”.
“Makasih banyak ya bu..ibu memang ibuku yang paling baik sedunia”.
ఇఇ
Pagi masih terlalu buta. Embun suci belum sempurna meleleh. Sinar mentari menambah damainya pagi ini. Suara-suara burung-burung bercicit ria dengan penuh cinta. Entah hari ini berbeda dengan hari-hari biasa. Desa Plukaran seakan penuh dengan aura cinta.
Wajah putih itu tersapu sedikit make up yang menambah kencantinkannya layaknya bidadari surga. Nanti ketika hangatnya waktu dhuha rombongan pembawa cinta dari desa Mojo Jatenan akan singgah dikediamannya perempuan yang sederhana ini, dan selalu bercahaya selaksa bintang-bintang dimalam hari. Jilbab putih, kebaya warna putih tulang menambah kencantikan yang begitu alami.
“Aduh…adikku cantiik sekali”seru Mbak Safaatun yang memasuki kamar nan harum.
“Ya..dong siapa dulu Muna…ha…ha..ha..”tawa menyelimuti atsmosfer antara mereka berdua.
“Dah sampai mana pangeranmu???”tanya Mbak Tun sambil duduk disamping adik semata wayangnya.
“Bentar lagi sampai..!!jelas Muna dengan raut wajah yang sedikit cemas.
“Ada apa denganmu dik…?kok wajahnya tidak bercahaya layaknya namamu, cerita dong ma Mbak”
“Aku agak kawatir Mbak..! tahu sendiri kan orang Jawa apabila akan menjalin sebuah hubungan perkawinan maka masih menggunakan naptu pasaran kelahiran, yang aku takutnya nanti jika tanggal lahirku dengan kak Ni’am tidak serasi bagaimana?jadinya kan harus nyerah dengan tradisi dan cinta ku harus jadi korban”jelasnya dengan wajah bulan kesiangan, namun tidak mengurangi aura kecantikan yang terpancar dari parasnya.
“O..oo..itu kamu tidak perlu kawatir yang perlu kamu lakukan adalah berdoa kepada Allah semoga semua apa yang terjadi nanti terbaik untuk kamu dan kakakmu, dan kalian berdua bisa hidup bersama dalam jalinan rumah tangga yang sakinah, mawadah, warohmah, pasrahkan saja pada yang di Atas”hibur Mbakyunya.
“Ami…iin”
ఇఇ
Pukul 10 lebih. Acara dimulai, tepat dari ketentuan sebelumnya yang dijadwalkan. Beberapa sanak falimi yang terdekat sudah pada berkumpul menunggu rombongan datang. Dengan begitu maka acara segera dimulai. Ni’am, ibu dan bapaknya dan beerapa sanak familinya yang terdekat duduk didepan keluarga Munawaroh. Beberapa jajan pasar tersedia dengan kemanisannya masing-masing, tidak lupa Piyem yang disediakan khusus untuk kakaknya yang nantinya jadi pemimpinnya. Seorang yang dituakan dari keluarga Munawwaroh memulai acaranya.
“Baik, kedua belah pihak telah bertemu. Mari kita mulai acaranya. Silahkan kedua orang tua masing-masing menulis weton putra-putrinya disecarik kertas yang telah disediakan”ujar bapak itu.
“Hum….mmm setelah diperhitungkan weton Khoirun Ni’am adalah Rabu Legi yang berangka 12, sedangkan Munawwaroh Sabtu Kliwon yang berangka 17, jumlah dari keduanya jika digabungkan menjadi 29 dan dibagi 7 sisanya 4, dan menurut pituah orang Jawa mempelai dimanakan Sumur Sinaba yang artinya baik menjadi pemimpinya dan suritauladan kanan kirinya, selamat ya semoga kalian berdua menjadi mempelai yang bahagi dunia dan akhirat”jelas bapak Tarmin sambil merapikan kertas yang digunakan untuk mengitung.
“Silahkan…silahkan dimakan jamuanya”tawar keluarga Muna.
Rumah yang tidak terlalu besar juga tidak terlalu kecil telah menjadii saksi atas bersatunya dua keluarga. Angin sepoi-sepoi yang berhembus dari luar rumah mengisyaratkan kesejukan yang lain dari pada yang lain, angin daerah penggunungan yang masih alami belum terkontaminasi asap-asap kendaraan yang menyesakkan pernafasan.
“Bapak..ibu ijinkan kulo mengungkapkan sesuatu, bisa juga dikatakan masalah bisa juga tidak”
“Silahkan”
“Begini kulo tahu jika dik Muna adalah anak yang terakhir, sedangkan kulo anak pertama, yang kulo inginkan bolehkan jika dik Muna kulo boyong ke Mojo Jatenan”.
“Bagaimana ya…??”
Ketika mendengar lontaran dariku, kedua orangtuanya Muna hanya saling pandang. Mungkin dalam pikirannya berterbangan berbagai ungkapan yang tidak bisa dilontarkan.
“Ya mungkin terasa berat buat bapak dan ibu, tapi kulo mengajak dik Muna ada alasan pertama almarhum bapak kandungku berwasiat untuk menempati rumah yang ditinggalkan, kedua disamping rumah kulo ada mushola yang teramat berat untuk kulo tinggalkan, terakhir disana dik Muna akan kulo ajak berjuang menegakkan agama Allah karena dik Muna dengan kulo sama-sama hafal Alquran”jelasku.
“Em…mm bagaimana ya..?”
“Bapak dan ibu tidak usah kawatir nanti satu bulan dalam seminggunya kulo kaleh dik Muna akan berkunjung kesini, jadi jika bapak ibu tidak terlalu kangen dengan dik Muna, bagaimana usulan kulo bu..?”
Bapak dan ibunya dik Muna saling pandang tanpa suara hanya isyarat mata yang mewakili apa yang bergemuruh didada.
“Lha piye awakmu nduk..?”tanya ibunya.
“Kulo manut kaleh ibu lan bapak mawon”timpal Munawwaroh yang begitu menghormati orang tuanya.
“Kami menjadi orang tua mengingginkan mana yang terbaik untuk anak, dan tentang masalah ini alangkah baiknya yang menetukan kalian berdua mau hidup dimana, disini pintu kami selalu terbuka untuk kalian, asalkan kalian berdua bahagia kami pun ikut bahagia”jelas bapaknya Muna dengan penuh kebijaksaan.
Acara telah usai, kedua keluarga sudah saling bertemu dan menemukan titik temu yang bahagia untuk kedua anaknya. Betapa bahagianya aku karena bisa meminang perempuan sederhana, dan kecantikan haqiqi telah terdapat dalam akhlak kesehariannya baik dengan Allah maupun dengan manusia.
Alun-alun kota Pati masih sama dengan beberapa tahun kebelakang. Masih ramai oleh penjual kaki lima disore hari. Suara tepuk tangan bergema dari pendopo kabupaten yang terletak disebelah Selatan alun-alun. Ya disitu telah ada acara bedah buku, yang diadakan komunitas penulis Pati.
“Bagus presentasimu tadi Am…”sanjung temanku Subhan yang sama-sama penulis.
“Biasa lagi..karyamu lebih bagus ketimbang aku”timpalku.
“Wah cantik bener cewek yang disampingmu ini…coba aku tebak pasti ini yang namanya Munawwaroh, perempuan yang sering kau ceritakan ketika kita online, mungkin juga karya-karyamu terinspirasi darinya, eh…hampir lupa kalian berdua sudah menikah kan??”
“Ya kami berdua sudah menikah, maaf ya lupa tidak memberi undangan”.jelasku pada Subhan yang tadi melihat kagum kami berdua.
“Kamu ini jika sudah bahagia lupa sama teman, hebat juga pemberian bukuku hingga membuatmu cepat-cepat meminanngya”tambah Subhan
“O…o..oo jadi yang mengirim buku LOVING U, MERIT YUK, karya O Sholihin dan Hafidz341 itu kamu, kok ada acara identitas dirahasiakan segala kenapa?terus tujuanmu apa?”selidikku dengan beruntun.
“Tenang teman, semuanya ada penjelasan, aku mengirim itu tidak lain agar kamu secepatnya meminang perempuan yang berada disampingmu ini, aku tidak ingin sahabatku menyia-nyiakan perempuan sholekhah sepertinya. Dan hasilnya sekarang kamu bahagia kan dengannya...???”
“Ha...ha..ha..”kami berdua tertawa ketika mengetahui siapa pengirim buku misterius beberapa tahun kebelakang, eh..tidak tahunya adalah sahabatku sendiri.
Dari awal pembicaraan Muna hanya diam, karena tidak mengetahui apa yang sedang kami ributkan. Sebab perihal buku itu tidak pernah aku ceritakan padannya.
“Umi..kita makan nasi gandul dulu ya, bersama-sama dengan teman Abi”ajaku
“Terserah Abi saja, Umi ngikut”rajuknya dengan penuh kemanjaan.
Setelah menikah antara aku dengan Muna yang dulunya manggilnya kakak dan adik, namun sekarng menjadi Abi dan Umi. Betapa bahagianya kedua insan manusia ini.
“Abi.. dulu kita pernah disini minum Supe, ketika itu antara kita belum mejadi suami istri ya....!!!masih ingatkan Bi..??
“Tentu masih ingat dong..waktu itu perginya pun atas paksaan Mbakyunya Umi”
“Terasa lucu ya jika menginggat itu semua, rasanya baru kemarin saja”ujar Muna yang sebentar lagi menjadi ibu dari buah bahagianya.
“Emm...emm, kalian ini dari tadi bicara terus, lha aku disini kalian jadikan obat nyamuk apa??!!!”sahut Subhan.
“Eh...maaf teman aku lupa jika tadi bersamamu ha...ha...ha..”timpalku dengan senyum, aku tahu jika sahabatku itu tidak mudah tersinggung.
Senja disore hari telah mengantarkan bahagia yang tak bertepi. Aku bertemu dengan sahabat lamaku yang tidak terencana, sedangkan aku bahagia dengan keluarga sederhana, yang tiap hari terdengar suara sayup-sayup bacaan alquran didalam rumah. Ya keluarga quran. Batapa besar nikmat yang Engkau berikan kepada keluarga kami ya Allah, Fabiaai Alaai Roobbikuma Tukatdhiban .

21 Oktober 2009 Waktu dhuha
Ni’am At-Majha
Kutorehkan dengan cahaya cinta
Untuk perempun yang Insyaallah jadi ibu
Dari anak-anakku.
Munawwaroh
Hari-hariku bahagia bersamamu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar